Kehadiranmu
Memiliki anak adalah salah satu daya tarik pernikahan. Kelihatannya begitu menyenangkan. Aku teringat pada rasa lelah menempuh perjalanan jauh yang langsung hilang menguap ketika aku melihat keponakanku yang baik budi, Muhammad Fathin Kurnia. Padahal waktu itu aku merasa agak mabuk dan mual akibat perjalanan jauh Banda Aceh – Kutacane, sehingga dudukpun rasanya tak mampu, hanya tiduran saja sambil disuap makan oleh ibunda tercinta. Tapi begitu melihat Fathin, jangankan duduk, aku bahkan sanggup menggendongnya, luar biasa. Pahamlah aku ketika itu apa yang dimaksud orang dengan rasa lelah bekerja seharian yang hilang begitu berjumpa anak-anak dirumah. Belum lagi kalau membayangkan hari-hari penuh warna bersama mereka.
Tapi apakah memiliki anak adalah tujuan pernikahan? Jika ya, apa yang terjadi ketika pernikahan tak juga dikaruniai anak? Berapa banyak perceraian yang terjadi karena tak kunjung hadirnya si buah hati? Bahkan, jenis kelamin anak pun kerap menjadi persoalan. Berapa banyak suami yang memilih menikah lagi demi memperoleh anak, atau anak dengan jenis kelamin tertentu? Istri kembali hamil dan hamil lagi tanpa memeperhatikan kondisi fisik dan psikisnya demi hadirnya seorang anak laki-laki. Atau paling tidak, pernikahan sering menjadi hampa, kosong, sensitivitas suami istri meningkat tajam yang memicu pertengkaran demi pertengkaran. Belum lagi daya tahan yang dibutuhkan dalam menghadapi pertanyaan dan komentar tetangga kiri kanan dan keluarga besar, terutama orangtua yang merengek-rengek inginkan cucu.
Apakah hidup kemudian menjadi tak berarti tanpa hadirnya anak-anak yang lahir dari pernikahan sendiri? Begitu miskinkah jiwa-jiwa kita tanpa mereka? Ya, mungkin memang begitu. Coba perhatikan orang-orang yang sudah menikah di sekeliling kita. Bukan “bagaimana rumahmu, bagaiamana mobilmu, bagaimana karirmu” yang paling sering ditanyakan diantara mereka. Tapi “bagaimana anak-anakmu, sudah bisa apa mereka, sudah kelas berapa” dan hal-hal lain seputar anak yang kerap mereka perbincangkan dengan bangga ataupun resah. Coba dengarkan dengan sabar cerita berulang-ulang seorang tante tentang anaknya yang mendapat beasiswa kuliah keluar negri, atau coba lihat foto-foto wisuda berukuran 10R di ruang tamu seorang guru SD yang bangga, atau kita bisa ikut tersenyum gembira mengamati foto-foto bayi yang dipamerkan sukarela oleh para orangtua muda, teman-teman kita sendiri.
Tapi sekali lagi, apakah memiliki anak adalah tujuan pernikahan?
Jakarta, 4 Maret 2006
Tuk Mas widhi dan istri: Selamat atas hadirnya si buah hati Andaru yang telah ditunggu dan diupayakan selama tujuh tahun ini. Semoga menjadi anak sholeh, bijaksana, kebanggaan orangtua, amin.
3 Comments:
Emang, kupikir aku sudah siap punya anak sejak beberapa tahun lalu, tapi untuk membuat keputusan bersedia berbagi hidup dengan calon bapaknya.... Haha... Hm, keputusan yang sulit, euy!
Untunglah aku punya sobat yang sedang punya bayi kembar, jadi selalu bisa 'mencuri rasa bahagia' itu bila mengunjungi mereka.
Moga cuma solusi sementara... :-)
kalau tujuan nikah cuma karena pingin punya anak. Ya nikah, dan abis punya anak terus cerai aja. Atau bisa juga cari donor sperma dan kemudian inseminasi.
Kalau anak itu ndak tahu dari rahim sendiri, ya cari anak angkat.
Menikah hanya karena kepingin punya anak dan tidak menyukai konswekwensi lainnya adalah sebuah usaha bunuh diri secara perlahan-lahan.
jadi inget sama salah satu teman yang memberi nama anaknya ANYA (After Nine Years Awaiting) ternyata ada ujian kesabaran dibaliknya Tan.......:)
Post a Comment
<< Home