Apa Bedanya Seeh...
Malam ini aku bertemu dengan seorang teman lama. Walau dulu tidak begitu dekat, tapi aku senang bertemu dengannya. Saling menanyakan kabar dan kegiatan masing-masing, juga tentang teman-teman lain yang sama-sama kami kenal ketika kuliah dulu.
Dia sudah menikah. Dan tidak bekerja. Dulu ia bekerja, namun kemudian berhenti demi mengikuti suaminya yang kerap berpindah tugas. Demikian juga dengan saudara perempuannya. Aku mengangguk-angguk mengerti. Memang prioritas harus ditetapkan diantara beberapa pilihan yang ada. Namun alisku jadi (ingin) naik sebelah (inginnya seeh, sayangnya cuma adikku Udi yang bisa melakukannya) ketika mendengar tentang salah seorang teman yang memang dilarang oleh suaminya bekerja, bahkan untuk mengajar di sekolah sekalipun. Kata suaminya, “lebih baik mengajar anak sendiri daripada mengajar anak orang lain.”
Masya Allah, egois banget! Punya istri pintar kok disimpan hanya untuk diri dan keluarganya saja? “Lho, lebih baik mengajar anak sendiri dan sekalian anak orang lain juga,” kataku ketus. “memperbanyak amal jariah, memperbanyak pahala, memperbanyak manfaat bagi orang lain,” sambungku tak senang.
Aku tak mengerti pikiran-pikiran seperti itu (atau tak mau mencoba mengerti?). Apa salahnya beraktivitas diluar rumah bagi istri? Ibu temanku di kampung juga pergi ke kebun salak bersama suaminya, lalu menjualnya di pasar. Yang lain ikut mencangkul di sawah sambil menggendong anak kecilnya dipunggung. Ibuku sendiri menjual kue dari warung ke warung, pasar ke pasar dan lain-lain dan lain-lain. Apakah ada bedanya dengan para istri yang sudah pernah mengecap pendidikan universitas? Ya, ada bedanya. Ibu-ibu di kampung itu bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga dan tak pernah ada yang protes ketika ia meninggalkan rumah. It’s a natural phenomena. Tapi istri-istri lulusan universitas itu, apapun alasannya bekerja, oleh sebagian orang akan dianggap ‘sok feminis’. Padahal, apa bedanya seeeeh.....
Jakarta, 4 Maret 2006, 23:11
Dengan hormatku pada setiap perempuan, dan laki-laki yang menghargai perempuan.
Kehadiranmu
Memiliki anak adalah salah satu daya tarik pernikahan. Kelihatannya begitu menyenangkan. Aku teringat pada rasa lelah menempuh perjalanan jauh yang langsung hilang menguap ketika aku melihat keponakanku yang baik budi, Muhammad Fathin Kurnia. Padahal waktu itu aku merasa agak mabuk dan mual akibat perjalanan jauh Banda Aceh – Kutacane, sehingga dudukpun rasanya tak mampu, hanya tiduran saja sambil disuap makan oleh ibunda tercinta. Tapi begitu melihat Fathin, jangankan duduk, aku bahkan sanggup menggendongnya, luar biasa. Pahamlah aku ketika itu apa yang dimaksud orang dengan rasa lelah bekerja seharian yang hilang begitu berjumpa anak-anak dirumah. Belum lagi kalau membayangkan hari-hari penuh warna bersama mereka.
Tapi apakah memiliki anak adalah tujuan pernikahan? Jika ya, apa yang terjadi ketika pernikahan tak juga dikaruniai anak? Berapa banyak perceraian yang terjadi karena tak kunjung hadirnya si buah hati? Bahkan, jenis kelamin anak pun kerap menjadi persoalan. Berapa banyak suami yang memilih menikah lagi demi memperoleh anak, atau anak dengan jenis kelamin tertentu? Istri kembali hamil dan hamil lagi tanpa memeperhatikan kondisi fisik dan psikisnya demi hadirnya seorang anak laki-laki. Atau paling tidak, pernikahan sering menjadi hampa, kosong, sensitivitas suami istri meningkat tajam yang memicu pertengkaran demi pertengkaran. Belum lagi daya tahan yang dibutuhkan dalam menghadapi pertanyaan dan komentar tetangga kiri kanan dan keluarga besar, terutama orangtua yang merengek-rengek inginkan cucu.
Apakah hidup kemudian menjadi tak berarti tanpa hadirnya anak-anak yang lahir dari pernikahan sendiri? Begitu miskinkah jiwa-jiwa kita tanpa mereka? Ya, mungkin memang begitu. Coba perhatikan orang-orang yang sudah menikah di sekeliling kita. Bukan “bagaimana rumahmu, bagaiamana mobilmu, bagaimana karirmu” yang paling sering ditanyakan diantara mereka. Tapi “bagaimana anak-anakmu, sudah bisa apa mereka, sudah kelas berapa” dan hal-hal lain seputar anak yang kerap mereka perbincangkan dengan bangga ataupun resah. Coba dengarkan dengan sabar cerita berulang-ulang seorang tante tentang anaknya yang mendapat beasiswa kuliah keluar negri, atau coba lihat foto-foto wisuda berukuran 10R di ruang tamu seorang guru SD yang bangga, atau kita bisa ikut tersenyum gembira mengamati foto-foto bayi yang dipamerkan sukarela oleh para orangtua muda, teman-teman kita sendiri.
Tapi sekali lagi, apakah memiliki anak adalah tujuan pernikahan?
Jakarta, 4 Maret 2006
Tuk Mas widhi dan istri: Selamat atas hadirnya si buah hati Andaru yang telah ditunggu dan diupayakan selama tujuh tahun ini. Semoga menjadi anak sholeh, bijaksana, kebanggaan orangtua, amin.