Bersama Hujan
Aku ingin sendiri, SayangHanya bersama dengan hujan. Kucium rinainya mesra,
kupeluk dengan tubuh seluruh,
dan kuhirup tanah yang ia wangikan.
Aku ingin menari, Sayang.
Menari bersama hujan.
Rentakkan kaki bersama rintiknya,
luruhkan resah dengan ruahnya,
lirihkan harap pada Yang Punya Jiwa:
“Tuhan, aku yang rendah ini datang meminta, karuniakanlah lagi kesehatan pada ayahku,
tambahi pundi-pundi kesabaran Bundaku,
berikan kami keikhlasan selalu,
amin.”
Jakarta, 25 Nov 2005dengan sepenuh cinta tuk ayah dan bunda
Baru Pagi Ini
Baru pagi ini kulihat airmata di wajah cantikmu, walau telah bertahun-tahun kudengar adanya prahara di hatimu. Baru pagi ini kusaksikan pedihmu, walau telah berulang kali kudengar berpalingnya hati laki-lakimu. Dan pagi ini pula kulihat engkau akhirnya pergi dengan niat tak kembali, teriring wajah muram dan duka kami. Masih sempat Kau beri kami senyum dan pelukan erat. Mana laki-lakimu? Benar-benarkah ia tak peduli? Belum kembali sadarkah ia bahwa engkau miliknya yang paling berharga?
Aku sungguh tak mengerti, seperti yang lain juga tak mengerti, apalagi yang diinginkan oleh laki-lakimu? Bukankah perempuan sepertimu sungguh layak untuk dijaga? Memilikimu adalah ingin banyak lelaki, kutahu itu. Kecantikan yang terjaga walau tak lagi remaja, kecerdasan yang terpancar dan jauh dari angkuh, kesetiaan yang tak diragukan selalu, kebersamaanmu dalam kesahajaan hidup dahulu. Semua telah kau beri dengan penuh cinta. Mengapa setelah rumah kontrakan sederhana berubah jadi rumah megah, toko bertingkat jadi milik berdua, hidup terlihat semakin dimudahkan Allah, hatimu yang begitu lembut disakiti?
Ibu guru yang cantik dan lembut hati, sungguh kuharapkan kebahagiaanmu kan kembali, dengan atau tanpa laki-lakimu.
Kutacane, 5 November 2005
--------------------------------
Senyummu
Memandang wajahmu yang keruh,
dapatlah aku memaknai sabda Rasul
bahwa senyum itu sedekah.
Dan sungguh,
senyummu adalah hadiah terindah bagiku.
Adik perempuanku,
bukankah tak berlebihan harapku padamu,
berikanlah kami senyummu,
yang terpancar dari rasa syukur dan kegembiraan hatimu selalu.
Kutacane, 4 November 2005.
ketika tak senyummu hadirkan kabut di pagi cerahku.
Perjalanan ke depan..
Memandang Iyah yang berjalan pulang, kutanya Etek yang berdiri di sampingku (Etek adalah panggilan khas daerah Gayo Lues, NAD, untuk anak perempuan). “Etek kenal sama dia?”
“Kenal. Kawan Etek satu sekolah waktu SD.”
“Oya?”
“Ya. Sering dulu Etek diejeknya.”
“Diejek kekmana?” tanyaku, ingin tahu melihat wajah Etek yang berubah jadi muram.
“Ya, diejeklah. Macam-macam omongannya. Kan Etek dulu sering disuruh ibu (my mom-red) jualan. Jualan jambu, jualan kue, es, di sekolah. Dikata-katai, ‘ih, maunya dia jadi pembantu (=kok mau dia jadi pembantu). Woi, pembantu, pembantu.’ Macam-macamlah kak, ucapannya.”
Aku tak berani bertanya lebih lanjut, melihat wajahnya yang semakin muram. Kelihatannya saat-saat itu begitu menyakitkan. Aku teringat cerita ibuku tentang gadis kecil kelas 3 SD yang selalu melewati depan rumah kami setiap kali berangkat dan pulang sekolah. Dengan seragamnya yang lusuh, sepatu dan kaos kaki yang sobek, ia selalu menyapa ibuku dengan riang, hingga kemudian suatu hari menawarkan tenaga kecilnya pada ibuku.
“Itulah katanya sama Etek waktu di dapur tadi. ‘Nasib orang mana kita tahu ya. Bagus rupanya nasib kau ya Tek. Sekarang aku yang jadi pembantu.’ Etek sih diam aja”
Aku memandang Etek menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Dia SD pun nggak tamat, Kak,” lanjutnya.
Hm.., aku paham sekarang. Dia tidak tamat SD. Sedangkan Etek, yang dulu selalu dihinanya sebagai pembantu, berkat kemauan dan usahanya, dapat mengenyam pendidikan lebih baik. Menyelesaikan SMU-nya, bahkan tahun ini ia mulai kuliah di salah satu PGSD di ibukota Provinsi, sesuatu yang agaknya tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tapi perjalanan dan perjuangan masih panjang, sampai Etek benar-benar bisa mandiri dengan bekal ilmunya dan bukan lagi tenaga kasarnya, serta bisa berbagi dengan orang lain.
Kutepuk bahunya mencoba mengusir kabut diwajahnya. “Ya, Etek bagus-baguslah kuliah. Cepat lulus, bisa kerja, bisa menolong orang lain. Semoga jadi tabungan untuk nanti di akhirat,” kataku.
Dia mengangguk, mengikuti langkahku memasuki rumah kami yang selalu hangat oleh cinta, Insya Allah.
Kutacane, 5 November 2005
Ceritakan saja
Sore ini aku buka puasa di warung padang bersama seorang teman. Sambil menikmati makanan yang lezat terasa, kami berbincang tentang nikmatnya makanan Sumatra. Rendang Padang yang mengundang selera, mie Aceh yang penuh rempah, mpek mpek Palembang seukuran kapal selam, hehehe. Temanku lalu mulai menceritakan pengalamannya berbelanja sejak kecil dan hobinya memasak. Hobi memasak? Aku terpesona. Jadi ingat kak Yanto sahabatku. Melihat wajahku yang mungkin mengexpresikan rasa takjub, dia bertanya, “Kenapa? Kamu nggak suka masak ya?”
“Nggak,” jawabku.
“Wah, memasak itu sangat menyenangkan. Gue heran kalo lihat cewek nggak suka masak. Gue yang cowok aja suka masak kok,” katanya penuh semangat.
“Oow,” batinku.
“Eh, gue kasih tahu ya,” katanya dengan mimik wajah serius menatapku.
Wah..wah..wah. aku udah siap-siap aja nih, mendengarkan petuah-petuah klise yang sudah sering kudengar, Tentang bagaimana seorang perempuan itu harus bisa masak, tentang kesetiaan laki-laki yang perlu dijaga melalui perutnya, tentang mertua yang mengharapkan kepiawaian menantu perempuannya di dapur, tentang bla..bla..bla, yang biasanya justru akan semakin meninggikan egoku, hehehe.
"Kalo lo di rumah, lagi hujan, lo ambil tepung setengah kilo, lo campur dengan air, bla..bla..., lo aduk, lo goreng, trus lo bikin kuahnya, lo ....,” kata temanku dengan semangat dan mata berbinar. Aku melongo. Alih-alih menasehatiku, dia justru menceritakan padaku proses membuat mpek-mpek di kala hari hujan dan kemudian menikmatinya. Alih-alih bersikap acuh, aku justru jadi sangat menikmati ceritanya. Hm.. memasak kedengarannya jadi mengasyikkan. Aku jadi tertarik.
Maka aku pun belajar sesuatu : Daripada menyuruh, ceritakan saja. Tidak mudah memang, tapi mungkin lebih efektif.
Jakarta, 24 Oktober 2005
Kutemukan engkau ketika
Kutemukan engkau dalam ingin
Ketika sekeping hening menyala sekejap dihati
Jakarta, mid of 2005