Friday, October 28, 2005

Yang bukan siapa-siapa

Siapa namamu?
Aku tak tahu. Apakah aku harus punya nama?

Mengapa engkau sendiri?
Aku tak mau sendiri. Tapi mereka tak mampu mendengar salamku, tak mampu meyapaku. Mungkin mereka juga tak mampu melihatku.

Bukankah seharusnya engkau punya suami?
Dia mati di jalan raya. Kutinggalkan ia karena tak mampu aku merawat jasadnya.

Bagaimana dengan anakmu?
(sejenak dia diam memandangku kosong)
anakku terlalu kecil untuk bisa hidup tanpa makanan dan sembuh tanpa obat sepertiku
juga terlalu lemah untuk bisa bertahan dari hujan dan terik matahari
terpaksa kubiarkan dia mati menyusul bapaknya


(aku hampir tak mampu berkata)
Darimana asalmu, perempuan tua?
Aku tak yakin, tapi kudengar orang bilang negriku adalah untaian zamrud khatulistiwa.
Aku tak mengerti apa maksudnya itu.

(aku terkejut)
Itu juga negriku. Itu artinya negri kita kaya raya.
Segala yang kita perlukan untuk hidup senang ada disana.
Aku tak mengerti mengapa engkau jadi begini papa.
(dia memandangku aneh)
kalau engkau yang begini cerdas tak mengerti, bagaimana bisa aku mengerti?

(aku benar-benar tak mampu berkata sekarang)

-----
Ini hanya di imaginasiku, terinspirasi dari cerita yang dikirim seorang teman dibawah ini (trims Erta). Tapi aku yakin, kenyataan yang lebih buruk banyak terjadi di luar sana:(
-----
Emak
Umurnya 60 tahun. Dia hidup sebatang kara. Para tetangganya,orang-orang papa yang tinggal di gubuk kardus perkampungan liar-kumuh Kota Bandung, mengenalnya dengan nama sederhana:"Emak". Tidak ada yang tahu nama aslinya. Awal pekan ini, Emak ditemukan meninggal, tiga hari setelah para tetangganya melihatnya hidup terakhir kali.
"SejakJumat pekan lalu,Emak tidak pernah kelihatan," kata seorang tetangganya seperti dikutip Kantor Berita Antara. "Saat gubuknya dilongok, Emak sudah terbujur kaku di dalam."Polisi yang datang kemudian memutuskan perempuan itu meninggal karena sebab alami, besar kemungkinan sakit karena tua.
Kita tidak tahu persis berapa jumlah orang seperti Emak, orang miskin perkotaan yang hidup di gubuk-gubuk kardus, seorang diri. Mengais remah-remah kota, dia terlalu miskin bahkan untuk hidup sehari-hari, apalagi berobat ketika sakit. Yang kita tahu persis, Emak adalah simbol dari pengabaian negara. Emak tidak memperoleh dana kompensasi pencabutan subsidi bahan bakar yang katanya ditujukan untuk orang miskin. Emak terlalu miskin untuk bisa disebut miskin. Dia tak nampak dalam radar Ketua RTdan RW, apalagi petugas Badan Pusat Statistik yang berkewajiban mendata orang miskin secara "door to door". Emak tidak punya "door" untuk diketuk. Bahkan tanpa pencabutan subsidi, konstitusi negeri ini mengatakan"fakir miskin, orang jompo dan anak terlantar disantuni negara". Tapi, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah belum lama ini mengatakan "minta maaf, pemerintah tak bisa menyantuni anak-anak dan orang jompo yang terlantar di jalanan karena kesulitan keuangan."
Indonesia memang bukan negeri kaya. Tapi, jasad beku Emak menjadi bukti bahwa negeri ini bahkan tidak bisa memenuhi kewajibannya yang paling elementer sesuai konstitusi, meski anehnya bisa memberi tambahan tunjangan Rp 10 juta per bulan buat tiap tuan dan nyonya di Senayan, dan sampai sekarang masih setia membayar bunga obligasi rekap puluhan triliun setiap tahun—obligasi ratusan triliun rupiah yang dinikmati segelintir bankir dan konglomerat.
Jasad Emak kini masih beku di ruang mayat Rumah SakitHasan Sadikin, Bandung. "Menunggu keluarga yang datang untukmenguburnya," katapetugas di situ. Malang bagi Emak, tidak ada keluarga yang bakal datang. Tubuhnya akan segera dikubur di pemakamanorang-orang tak dikenal, tanpa batu nisan. Namanya bahkan tak pernah menjadi cacatan kaki pun dalam sejarah keruwetan republik ini.
Peri di Kebun Kopi
Di Bawean, pinggiran Kota Semarang, kebun kopi sudah mulai jarang. Rumah dan beton ibukota Jawa Tengah itu menyebar pelan tapi pasti, seperti gulma di kolam keruh, merangsek sawah dan kebun berubah jadi permukiman. Tapi, Desa Tegalsari di tepian perkebunan kopi itu tetap masih seperti desa-desa Jawa pada umumnya, ketika satu kematian bisa membuat gempar.
Selasa kemarin (25 Oktober 2005), warga desa itu gaduh oleh matinya seorang perempuan tua yang tidak dikenal, di sebuah gubuk terpencil kebun kopi yang ditinggalinya sendirian. Umur perempuan itu sekitar 80tahun.
"Kami kaget," kata Parti, seorang warga desa setempat, kepada KantorBerita Antara.
"Saat kami hendak memberinya makan, nenek itu sudahterbujur kaku di gubuknya.
"Nenek itu?"
"Kami tidak tahu nama dan asal usulnya," kata Parti.
"Tapi, setiap hari warga di sini selalu mengiriminya makanan."
Menurut warga desa, perempuan tua itu muncul tiba-tiba entah dari mana enam bulan lalu. Dia menempati gubuk kecil yang tak terpakai di tengah perkebunan kopi. Sendirian saja. Kini nenek tua itu telah tiada. Kabar kematian nenek menyebar hingga ke seluruh desa. Polisi, yang mendapat laporan, segera menuju ketempat kejadian. Diselimuti kain milik warga setempat jasad nenekdibawa polisi ke Rumah Sakit Ambarawa untuk otopsi. Polisi setempat mengatakan, penyebab kematian perempuan itu: usia tua dan penyakit dalam yang dideritanya.
"Kami akan minta pihak rumah sakit untuk merawat jenazahnya dan memakamkannya secara layak," kata kepala kepolisian setempat.
Dari debu kembali ke debu. Dari tanah ke tanah.Tapi tidakkah perempuan itu sebenarnya peri dari langit yang datang dikirim Tuhan untuk menguji ketulusan warga desa, kesabaran mereka memberi kasih pada sesamanya. Jika perempuan itu malaikat kiriman Tuhan, kita tahu warga desa seperti Parti telah lulus ujian kesabaran dan ketulusan.Tapi, luluskah Menteri Perencanaan Pembangunan dan Kepala Bappenas SriMulyani? Enam bulan lalu, ketika mendukung pencabutan subsidi bahan bakar yang pertama, Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan memastikan setiap orang miskin di Indonesia menerima dana kompensasi. Luluskah para ekonom, budayawan dan kaum intelektual yang enam bulan lalu, persis kemunculan nenek tua di Desa Tegalsari, memasang iklan satu halaman di harian terkemuka, menyatakan mendukung pencabutan subsidi demi memperbaiki derajat hidup orang miskin?*

Friday, October 14, 2005

Aku Ingin Pulang

Jiwaku hilang separuh, katamu tanpa kata
Disapu air hitam setinggi tiga kali pokok kelapa pantai kita
Jiwaku hilang separuh, katamu hening dalam hangatnya sapamu selalu
terkubur bersama ratusan ribu jiwa yang tak mampu lagi kusentuh
Jiwaku hilang separuh, katamu pada malam-malam senyap yang tak mampu kau bunuh
Pergi mencari orang-orang terkasih yang pulang tanpa pamit padaku


Maka harus kutemukan lagi separuh jiwaku, katamu dalam diam
Kan ku temukan di kota kita yang masih porak poranda

Di halaman Baiturrahman kecintaan kita
dibalik reruntuhan rumah kita yang hilang rupa
di dalam tenda-tenda kerabat yang tak melindungi mereka
didepan pusara tak bernama tak berbunga
diaroma udara yang pernah bercampur harumnya jasad tak berjiwa
di mata jernih anak-anak tak berbapa beribu
di setiap jengkal tanah kota kita
kan kucari ia
maka izinkan aku pulang!

----
Tuk sepupuku dan semua yang sepertimu

dengan hormatku pada ketegaran hatimu

Thursday, October 13, 2005

Rasulullah SAW dan seorang pengemis..

=dari email seorang teman=

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, "Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalianakan dipengaruhinya".

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW praktis tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yan g tidak lain tidak bukan merupakan istri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, "Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?". Aisyah RA menjawab, "Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hamper tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja". Apakah Itu?", tanya Abubakar RA.
"Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi keujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana", kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, "Siapakah kamu ?". Abubakar RA menjawab, "Aku orang yang biasa." "Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", bantah si pengemis buta itu.
"Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah.
Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut setelah itu ia berikan padaku", pengemis itu melanjutkan perkataannya. Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, "Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW".

Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, "Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... " Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.

--------
“Ya Rasulku, betapa jauhnya aku dari ahlaqmu:(”

Wednesday, October 12, 2005

pertama kalinya aku tak suka biru

Sungguh aku tak tahu apa warnanya hati.
Kau tahu
Tidak, aku tak tahu
Ya, kau tahu, kau hanya pura-pura tak tahu
Pink?
Tentu saja bukan. Kau tahu itu bukan pink.
Merah?
Tentu saja bukan.
Abu-abu?
Oh, kau ini. Mengapa kau tak mau mengakuinya?
Baiklah. Biru?
Nah, apa kataku. Kau tahu
(Jadi, ini pertama kalinya aku tak suka biru)

mungkin suatu hari akan kuceritakan padamu

Mungkin suatu hari akan kuceritakan padamu, gugurnya bunga di hati kami setelah mekar tigaribu hari. Jatuh ketanah, tertiup angin, terbang, hilang. Mungkin suatu hari akan kuceritakan padamu, kehangatan jiwa kami melewati ribuan hari bersamamu yang meredup, membeku, tak tersentuh. Mungkin suatu hari akan kuceritakan padamu, segala rasa tak terungkap kami yang tersimpan, terjaga, terbiar. Mungkin suatu hari..... ya, mungkin..... kami kan jadi sebab segala serupa ini. Atau mungkin, kami jugalah kali ini.
Tetapi, hari ini, kami kan coba menemukan kembali, mutiara yang telah satukan kita semua, disini.

Tuesday, October 11, 2005

Maafkan

Maafkan..
Setelah apa yang terjadi selama ini
Atau setelah apa yang tidak terjadi?