Friday, July 01, 2005

Sembilan Belas Tahun

Cerpen

September 1999

“Assalamu’alaikum.”

Kumsalam,”jawabku. Aku bergeser sedikit memberimu tempat. Wah, kamu cantik sekali. Maksudku, sama cantiknya dengan aku. Hehehe….

Tapi yang bikin aku tertarik, kamu serius sekali mendengarkan materi kultum sehabis sholat dhuhur berjama’ah ini. Aku sih tidak tertarik. Cuma segini materinya? Aku udah ngerti dari dulu. Mestinya aku aja yang ngisi di depan, pikirku bosan.

Itu awal jumpa kita, namamu Lia. Asal Kudus. Kita satu kelompok waktu opspek Fakultas. Kamu menyenangkan juga. Tapi begitu tahu aku dari Serambi Mekkah, kamu langsung nanya-nanya tentang agama. Eh. Emangnya semua orang Aceh punya pengetahuan banyak tentang agama? Enggak juga ya Non! Tapi, kamu beruntung ketemu salah satu dari mereka yang ngerti. Gini-gini, aku kan keluaran pesantren juga, hehehe. Wah, sombong aku.

Desember 1999

Hari ini aku terkejut sekali. Mana rambut indahmu yang aku yakin bisa membuat iri bahkan para model iklan shampo sekalipun? Astaga, kamu sungguh-sunguh dengan ucapanmu tempo hari? Kamu memang pernah bilang ingin pakai jilbab. Aku tertawa waktu itu. Gadis secantik kamu, kukira diciptakan Tuhan untuk jadi perhiasan di dunia ini. Tapi katamu, aku sendiri yang pernah bilang bahwa perhiasan terbaik dunia adalah perempuan yang sholehah. Wah!

Memang harus kuakui juga, hatiku sering terasa sejuk setiap kali melihat mereka yang berjilbab. Mereka terlihat begitu cantik, begitu lembut, begitu anggun, teduh dan sungguh menyenangkan hati. Tapi bukan tak pernah pula aku menemukan pandangan sinis mereka padaku. Dengan jins belel dan kaus ketat, aku memang berbeda dari mereka. Tapi, huh, sok suci mereka. Memangnya udah pasti kalo mereka aja yang bakalan masuk surga?!

10 Februari 2000

Kamu masih saja enggak bosan ngajak aku ke pengajian, walau sering aku menolak dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Pengajian? Di Masjid Syuhada? Jam enam pagi? Huu, enakan tidur! Lagipula, siapa yang tahan berada dalam forum seperti itu? Paling-paling yang diomongin cuma surga dan neraka, pahala dan dosa. Jangan-jangan nanti aku dijadikan contoh orang yang berdosa dan merekalah yang suci dan berpahala. Eh, gini-gini, aku juga tetap sholat, puasa, kasih sedekah. Masih kurang?!

Heran, kok aku masih kuat berteman dengan kamu ya. Bahkan tak terpikir olehku untuk menjauh darimu. Mungkin karena kamu sedikitpun tidak pernah berubah sikap padaku? Kamu tetap menghargaiku, dan tidak mengguruiku. Yah, paling-paling kalo mau pergi bareng, kamu cuma bilang, “Pakai baju yang ini aja, Tia. Lebih bagus lho.”

Aku pun tidak keberatan menuruti kamu. Kutukar rok mini itu dengan rok semata kaki. Melihat belahannya yang ternyata sampai lutut, kamu tertawa dan bilang, “Ih, gemes, nanti kujadiin bahan praktik menjahitku ya?”

11 April 2000

H-1 dari ulangtahunku yang ke-19. Surat kilat dari abah dan ummi sudah sampai. “Selamat ulang tahun, Meutia sayang. Semoga Meutia makin dewasa dan dikaruniai umur yang berkah. Do’a abah dan ummi selalu menyertaimu. Jangan lupa sholat lima waktu dan mengaji, ya.”

Tuh, kan, ujung-ujungnya. Sholat lagi, mengaji lagi. Kok engga bosan sih, abah dan ummi mengulangi nasihat yang sama? Aku aja bosan mendengarnya! Apa gak percaya kalo anaknya ini nggak pernah ninggalin sholat dan mengaji?!

Abang dan kakak sama saja. Pertanyaan mereka enggak berubah,”Udah pakai jilbab belum?”

Nah, ini nih. Orang-orang yang juga merasa punya hak untuk mengatur hidupku. Aku kan hampir 19 tahun. Sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang kumau. Kegembiraan menjelang hari ulangtahunku jadi hilang. Jilbab, jilbab, kenapa aku harus kembali mengenakan pakaian tanpa mode itu? Apa kata dunia! Dan bisa-bisa, kabur deh Si Robi yang lagi kukecengin..

12 April 2000

Tapi kamu sahabatku, yamg selama ini kuanggap paling memahami aku, bahkan menghadiahi aku sehelai jilbab. Bagus, sih. Merah hati warnanya, dengan bordir halus dipinggirnya. Kamu tahu aja warna kesukaanku. “Bekal buat mudik, Tia. Aceh akan menjalankan syariat Islam kan? Selamat lho.”

Heh, kalau perlu aku enggak usah pulang lagi sekalian, pikirku sengit. Kamu juga mau mengatur aku? Kamu ternyata sama saja dengan keluargaku, yang dari aku kecil selalu menyuruh aku ini dan itu, melarang aku ini dan itu. Menjemukan! Selama ini aku kan nurut terus. Cuma untuk yang satu ini aku minta pengertian kalian. Aku ingin jadi gadis model! Mengapa kalian tidak mau mencoba untuk memahamiku ?

12 April 2000, 19.00 wib.

Oh Tuhan, Robi datang! dengan 19 kuntum mawar merah ditangannya. “Selamat ulang tahun, Tia” ucapnya mesra. Melihat senyumnya yang begitu menawan, segera menguap rasa kesal yang sejak kemarin memenuhi hatiku.

“Bagaimana kalau kita rayakan hari berbahagia ini di Kaliurang? Aku sudah menyewa villa mungil untuk kita.”

“Sungguh?” Oh, aku senang sekali. Rasanya aku perlu sejenak melepaskan diri dari suasana yang sumpek ini. Tapi, cuma berdua? Aku ragu.

“Bagaimana?”

Okelah. Cuma ke Kaliurang, kenapa takut?

Malam berlalu dengan sangat romantis. Kami bermobil berdua, jalan-jalan berdua, memandangi Merapi berdua. Aku gadis paling beruntung di dunia, pikirku sambil menatap wajah Robi yang indah.

Setelah itu kami makan malam berdua di villa. Sembilan belas lilin diatur sedemikian rupa di atas meja, menggantikan neon yang dipadamkan. Selama itu kurasakan Robi tak puas-puas memandangiku. Hm, aku semakin PD saja bahwa dia akan bilang cinta padaku malam ini.

Nyala lilin hampir redup, ketika Robi menyalakan musik. “Pernah berdansa?”

Aku menggeleng. “Mau aku ajari?”

Aku ragu, tapi Robi sudah menarik tanganku, mengajak aku berdiri dan melangkah ke tengah ruangan. “Ayo, mudah kok.”

Aku gemetar. Bagaimanapun, tidak pernah ada laki-laki yang menyentuhku seperti ini. Sedangkan untuk mengunjungiku di rumah saja perlu keberanian, menghadapi wajah abah yang penuh selidik. Huh, bagaimana aku bisa dapat pacar, pikirku sedih.

“Tenang saja Meutia, relaks. Tutup matamu. Dan ikuti irama musik,” kata Robi sambil mendorong kepalaku agar rebah di bahunya.

Nyala lilin mulai mati satu-satu. Oh, aku mulai merasa bahwa syetan sedang tertawa melihat kebodohanku. Tubuhku jadi kaku ketika kurasakan ciuman Robi di kudukku. Ummi, apa yang kulakukan?

“Kulitmu mulus sekali Meutia,” bisik Robi pelan, sambil tangannya mengelus punggungku yang terbuka.

“Kita ke kamar saja ya?” bisiknya lagi. Aku gemetar, marah. Tuhan, dia tidak menghormatiku. Aku ini apa?

“Lepaskan,” jeritku.

Robi terkejut. Pelukannya terlepas. “Meutia..apa… kenapa?” tanyanya bodoh.

“Kau… kau menghinaku…” kataku terbata.

“Menghina? Apa maksudmu?”

“Kau menganggap aku murahan!”

“Murahan? Apa maksudmu?” Robi menatapku tak mengerti.

Oh, aku benci padanya. “Aku mencintaimu, Meutia. Dan kukira engkau pun mencintaiku.”

Tuhan, kalimat yang telah lama kutunggu itu justru membuatku semakin marah. “Begini caramu mencintai?”

“Apa yang salah? Kamu tidak menolak kucium, tidak marah kupeluk. Kamu mau datang kemari. Kukira kamu juga menginginkan apa yang kuinginkan.”

“Menginginkan apa?”

“Jangan pura-pura Meutia. Jangan sok suci. Kamu tahu apa yang kuinginkan, dan aku tahu kamu juga menginginkannya. Itu sebabnya kita kemari. Sudahlah, Tia. Jangan pura-pura tak mau. Kamu cinta padaku kan? Kenapa tidak kita nikmati saja cinta ini?”

Robi berjalan mendekatiku. Bagiku kini dia seperti monster yang mengerikan.. dengan panik kusambar pisau buah di atas meja. “Berhenti Robi!” teriakku sambil mengarahkan pisau itu ke dadaku. Ya Allah, tolong aku. Jangan sampai aku mendahuluiMu mengambil nyawaku sendiri.

“Meutia, jangan main-main.” Robi terkejut dan mundur melihatku. Aku segera mengambil kesempatan itu untuk membuka pintu dan lari keluar. Hujan rupanya telah turun dengan deras. Sekilas sempat aku berpikir tentang Lia. Jemput aku, Lia, please.

“Meutia, berhenti!” teriak Robi. Aku tak peduli, dan lari secepat mungkin. Ada gunanya dulu abah selalu mengajak aku selalu lari pagi dari rumah kita ke Kuala Langsa.

Aku terus lari, lari, lari. Di telingaku berkelebat suara-suara yang sudah tak asing lagi.

“Jilbab itu mengangkat harkat perempuan, Dek.”

“Jilbab itu akan menjagamu Sayang, bahkan dari dirimu sendiri.”

“Mari belajar menjadi perempuan sholihah, Meutia.”

“Ia pengenal bagi muslimah, Tia”.

Aku menangis, airmataku bercampur dengan air hujan. Kemerdekaan apa yang kuinginkan selama ini? Kemerdekaan untuk dilecehkan? Nyatanya aku justru terpenjara dalam nafsu dan kebodohan. Ya Robbi, ampunkan hambaMu yang hina dan bodoh ini.

Aku terus berlari sampai kakiku tak kuat lagi dan aku jatuh terjerambab di pinggir jalan. Hujan sudah berhenti. Ampuni aku Tuhan. Abah, ummi, maafkan anakmu ini. Abang, kakak, maafkan adikmu yang tak tahu disayang ini. Lia, maafkan aku, jemput aku. Aku lelah, lelah sekali.

15 Juli 2000

Aku pulang. Ummi menatapku takjub. “Meutia?”

Segera kucium tangan ummi, dan ummi menarik aku ke pelukannya. “Alhamdulillah, Kau turunkan juga hidayah itu, Ya Allah,” bisik ummi sambil membelai kepalaku, yang kini tertutup kain merah hati. masukkan aku dalam rahmatMu, ya Allah, bisik hatiku.

Yogyakarta, di taon 2000