Satu Sore di Masjid Kampus
Sore ini aku ke Masjid Kampus UGM. Masjid yang adanya dulu begitu ditunggu-tunggu oleh komunitas kampus, Masjid yang jarang sekali kukunjungi. kalau bukan karena ada janji, mungkin aku nggak akan mengunjunginya sore ini. Janjian ketemu dengan para Sahabat Aceh, begitu teman-teman di KLP Peduli menyebut adik-adik mahasiswa penerima beasiswa dari KLP Peduli. Jumlah mereka tidak banyak, hanya 7 orang saja. Untuk langkah awal, cukuplah, yang penting bisa istiqomah. Ada keinginan sih agar jumlah ini bisa bertambah. Namun nantilah, untuk yang 7 ini saja kami masih kekurangan donatur tetap.
Melaju diatas motor pinjaman Intan Nas, aku teringat pembicaraan dengan Mas Komo di Kereta Senja yang membawa kami kembali ke Yogya. Mas Komo bilang, kami bisa minta bantuan teman-teman dari Fak. Psikologi UGM untuk memberikan konseling pada Sahabat Aceh kami. Bagus juga, pikirku. Tapi... "Menurut Mas komo, mereka perlu tidak, diberi konseling?" tanyaku.
Yach, kan Mas Komo udah ketemu mereka sebulan yang lalu, pada waktu penyerahan beasiswa pertama kali. Jadi punya sedikit Gambaran tentang keadaan mereka. Mas komo diam sejenak, kemudian menggeleng. "Tidak, menurutku mereka nggak perlu konseling, Tan. mereka lebih tabah dari yang kuduga," katanya sambil merebahkan tubuhnya, menutup pembicaraan. Aku mengangkat bahu dalam diam, namun pikiranku mengembara.Bagaimana mereka bisa setabah itu? Dalam angan, kubuka lembaran-lembaran biodata mereka yang sebagian besar kami dapatkan dari Sayuti. Bakrizal yang ayahnya datang ke Banda Aceh di pagi 26Des04 itu seolah hanya untuk menemui malaikat maut, Meutia yang kehilangan kedua orangtuanya, Astri yang kehilangan seluruh keluarganya, Masykur yang kehilangan ibu dan empat orang kakaknya sementara ayahnya telah lebih dulu berpulang, Benny, Deddy, Oki, tak jauh berbeda. Aku coba bayangkan, bagaimana kalau aku yang mengalami semua itu? Kehilangan ayah dan ibuku, abangku, dan dua adikku, rasanya perih, teriris, tak sanggup. Namun terkenang dialog dengan sahabatku Dekya di masa SMA. Waktu itu kami sedang takziyah ke rumah Yuyun yang ibunya baru saja berpulang. Memandang wajah sembabnya, aku berbisik pada Dekya, "Dekya, kalau Intan yang mengalami ini, Intan pasti tidak akan sanggup menghadapinya."
Dekya menatapku sejenak, dan balas berbisik, "Kalau ini terjadi pada intan, pada saat itu, Intan pasti sudah diberi kekuatan untuk menghadapinya.
Itukah yang sekarang terjadi pada kalian? Tuhan tahu kalian lebih kuat dariku, Tuhan biarkan keluargaku kembali ke sisiku, dan Dia panggil pulang keluarga kalian ke sisiNya, meninggalkan kalian yang akan menjadi semakin kuat, semakin kuat, dan semakin kuat.
Sore ini, di Masjid Kampus ini, bertemu dengan kalian sahabat Acehku, tetap kulihat manisnya senyum terukir di bibir kalian, tetap terdengar cerianya tawa yang dilepaskan. Adakah layak aku mengeluhkan sedikit kehilangan yang aku alami, sedangkan kalian kehilangan harta, dukungan finansial, kasih sayang dan cinta keluarga? Adakah layak aku mengeluhkan kehilangan sepasang sepatu, sebuah handphone, seorang kekasih yang nota bene semuanya bukan milikku, sementara kalian kehilangan hampir segalanya? memandang kalian, aku malu untuk mengeluh.
Ya sahabatku, kita boleh kehilangan apa saja, asal tidak kehilangan iman dalam diri. kita boleh tak punya apa-apa, asal masih punya harapan. kita boleh ditinggal siapa saja, asal tidak ditinggalkan oleh Allah.
smoga dapat bertemu lagi...
Love Aceh forever