Friday, May 20, 2005

Satu Sore di Masjid Kampus

Sore ini aku ke Masjid Kampus UGM. Masjid yang adanya dulu begitu ditunggu-tunggu oleh komunitas kampus, Masjid yang jarang sekali kukunjungi. kalau bukan karena ada janji, mungkin aku nggak akan mengunjunginya sore ini. Janjian ketemu dengan para Sahabat Aceh, begitu teman-teman di KLP Peduli menyebut adik-adik mahasiswa penerima beasiswa dari KLP Peduli. Jumlah mereka tidak banyak, hanya 7 orang saja. Untuk langkah awal, cukuplah, yang penting bisa istiqomah. Ada keinginan sih agar jumlah ini bisa bertambah. Namun nantilah, untuk yang 7 ini saja kami masih kekurangan donatur tetap.

Melaju diatas motor pinjaman Intan Nas, aku teringat pembicaraan dengan Mas Komo di Kereta Senja yang membawa kami kembali ke Yogya. Mas Komo bilang, kami bisa minta bantuan teman-teman dari Fak. Psikologi UGM untuk memberikan konseling pada Sahabat Aceh kami. Bagus juga, pikirku. Tapi... "Menurut Mas komo, mereka perlu tidak, diberi konseling?" tanyaku.
Yach, kan Mas Komo udah ketemu mereka sebulan yang lalu, pada waktu penyerahan beasiswa pertama kali. Jadi punya sedikit Gambaran tentang keadaan mereka. Mas komo diam sejenak, kemudian menggeleng. "Tidak, menurutku mereka nggak perlu konseling, Tan. mereka lebih tabah dari yang kuduga," katanya sambil merebahkan tubuhnya, menutup pembicaraan. Aku mengangkat bahu dalam diam, namun pikiranku mengembara.

Imgp0658_ed_7Bagaimana mereka bisa setabah itu? Dalam angan, kubuka lembaran-lembaran biodata mereka yang sebagian besar kami dapatkan dari Sayuti. Bakrizal yang ayahnya datang ke Banda Aceh di pagi 26Des04 itu seolah hanya untuk menemui malaikat maut, Meutia yang kehilangan kedua orangtuanya, Astri yang kehilangan seluruh keluarganya, Masykur yang kehilangan ibu dan empat orang kakaknya sementara ayahnya telah lebih dulu berpulang, Benny, Deddy, Oki, tak jauh berbeda. Aku coba bayangkan, bagaimana kalau aku yang mengalami semua itu? Kehilangan ayah dan ibuku, abangku, dan dua adikku, rasanya perih, teriris, tak sanggup. Namun terkenang dialog dengan sahabatku Dekya di masa SMA. Waktu itu kami sedang takziyah ke rumah Yuyun yang ibunya baru saja berpulang. Memandang wajah sembabnya, aku berbisik pada Dekya, "Dekya, kalau Intan yang mengalami ini, Intan pasti tidak akan sanggup menghadapinya."
Dekya menatapku sejenak, dan balas berbisik, "Kalau ini terjadi pada intan, pada saat itu, Intan pasti sudah diberi kekuatan untuk menghadapinya.

Itukah yang sekarang terjadi pada kalian? Tuhan tahu kalian lebih kuat dariku, Tuhan biarkan keluargaku kembali ke sisiku, dan Dia panggil pulang keluarga kalian ke sisiNya, meninggalkan kalian yang akan menjadi semakin kuat, semakin kuat, dan semakin kuat.

Sore ini, di Masjid Kampus ini, bertemu dengan kalian sahabat Acehku, tetap kulihat manisnya senyum terukir di bibir kalian, tetap terdengar cerianya tawa yang dilepaskan. Adakah layak aku mengeluhkan sedikit kehilangan yang aku alami, sedangkan kalian kehilangan harta, dukungan finansial, kasih sayang dan cinta keluarga? Adakah layak aku mengeluhkan kehilangan sepasang sepatu, sebuah handphone, seorang kekasih yang nota bene semuanya bukan milikku, sementara kalian kehilangan hampir segalanya? memandang kalian, aku malu untuk mengeluh.

Ya sahabatku, kita boleh kehilangan apa saja, asal tidak kehilangan iman dalam diri. kita boleh tak punya apa-apa, asal masih punya harapan. kita boleh ditinggal siapa saja, asal tidak ditinggalkan oleh Allah.

smoga dapat bertemu lagi...
Love Aceh forever

Suatu Akhir di kaki Merapi

Membaca kembali tentang Soe Hok Gie, Soe Hok Gie yang mati muda di gunung Semeru, datang kepadaku ingatan pada sesosok sahabat, Agus Purwito, yang juga mati muda, mati muda di jurang kaki Merapi..

Meski hampir empat tahun telah lewat, masih terbayang saat-saat gelisah menyelubungi seluruh hati kami, saat-saat kami menyebut namamu dalam doa penuh harap kepada Tuhan, saat-saat kami tak enak makan karena terbayang engkau tersesat tanpa makanan, saat-saat kami tak nyenyak tidur karena terbayang engkau kedinginan tanpa pelindung di luar sana, saat-saat kami bertengkar karena panik dan menggelisahkanmu. Masih terbayang saat Icun menjeritkan namamu dalam duka yang sangat, saat parmini mengambil gagang telepon yang terlepas dari genggaman Icun, saat Ia berbicara sejenak dengan Irwan diujung sana, dan kemudian berkata dengan nanar, "Agus ditemukan.. dalam keadaan meninggal". Masih terasa keterkejutan yang menghempaskan, harapan yang lenyap, dan duka yang kemudian hadir memenuhi hati kami...

Untuk pertamakalinya sepanjang ingatanku, aku menangis tak berhenti, sepanjang jalan dari Asrama Yasma Putri di Pringgokusuman menuju Kaliurang, bersama Parmini, mengendarai motor milik Sulis, ingin menemui dikau, sahabatku, sahabat kami semua di Syuhada, sahabat para ibu di Kali Code. Teringat ucapanmu tentang mereka, "Tan, alangkah manisnya senyum ibu-ibu kali Code itu, " ucapan yang kala itu tak kumengerti, sampai kemudian kutemukan manisnya senyum seorang tua Supir bajaj di jakarta, dengan gigi ompong dan mata ikhlasnya.

Memandang tubuhmu yang membeku didalam ambulans, berbalut kantung plastik hitam yang reslitingnya terkunci sebatas dada, memandang wajahmu yang biasanya selalu penuh senyum, tawa dan semangat, melihat luka di kening dan di dagu yang mulai dikerubuti binatang-binatang kecil, ingin kunikmati saat terakhir dapat melihatmu, sebelum kantung hitam itu dirapatkan menutupi seluruh jasadmu. Apa yang kau rasakan menjelang kepergianmu Sahabat? adakah luka dikeningmu itu mengganggumu? Adakah hujan menyelubungimu dengan dingin? Adakah kesendirian menerpamu? Ataukah memang kau tlah bersiap untuk tidur yang panjang ini? Mereka bilang padaku, kau ditemukan dalam posisi berbaring tenang diatas ponco milikmu, dengan tangan terlipat di dada, dengan sepatu dan kaus kaki terbuka dan terletak rapi disampingmu, seolah-olah memang kau siapkan dirimu untuk beristirahat. Tapi, sebelah kaus kakimu masih terpasang dikakimu. Apakah Kau begitu kesakitan setelah terjatuh ke jurang sempit namun dalam ini, sehingga tak mampu lagi untuk membukanya? Akankah bila kau ditemukan lebih cepat, masih akan kau tertawa bersama kami, mengucapkan kalimat, "gimana, ada masalah?", dan menutupnya dengan, "tetap semangat!"

Inilah kematian yang menguras airmataku sebanyak ini. Sejak kepergianmu, bagiku kematian bukan lagi sekedar angka di lembar koran atau pembacaan berita. Ada sesuatu dibaliknya. Ambulans bukan lagi sekedar kendaraan yang lewat tak berarti, namun terasa olehku, ada orang-orang yang gelisah, yang berharap, menunggu, berdoa, berduka, dibaliknya. Aku jadi lebih menghargai duka, lebih menghargai perpisahan dan kesedihan, lebih dapat berempati. Teoriku dulu tak berlaku sama sekali: "mengapa harus bersedih dengan kematian? Sesungguhnya tangisan karena kematian adalah menangisi diri sendiri yang masih hidup, mengkhawatirkan masa depan diri sendiri yang akan hidup tanpa si mayit". Tapi aku tak yakin dengan itu sekarang, Gus. aku menangis dengan kepergianmu, yang aku tak dapat definisikan sebabnya. Karena tak akan ada lagi dirimu dalam hiruk pikuk kehidupan Masjid Syuhada kita? Atau karena membayangkan kesendirianmu di dasar jurang sana? Atau karena doa dan harapan atas keselamatanmu setelah kau menghilang tiga hari tak terpenuhi? Atau karena semua orang juga menangis? atau apa? Sudahlah, sedih ya sedih aja, tidak perlu ada alasan untuk itu.

Mengamati penuhnya Masjid Syuhada kita dengan orang-orang yang ingin melihatmu, mendoakanmu, mensholatkanmu, mengiringimu hingga ke rumah terakhirmu, kuharapkan berkah dan ampunan Tuhan untukmu, kuharapkan ridhoNya bersamamu. Mereka datang bukan cuma pada hari ketika engkau ditemukan, Gus. Mereka sudah datang sejak engkau tiada kabar. Semoga do'a mereka memudahkan langkahmu, semoga airmata mereka tak memberatkanmu. Setitik tanya dihatiku, adakah akan sebegini banyak pula orang yang akan mendoakan aku ketika berpulang? Ipeh mengungkapkan hal yang sama padaku waktu itu.

Kita akan bertemu lagi teman, entah kapan waktunya. Yang jelas, bertemu denganmu dalam mimpi sudah membuat aku lega. Kita bersama sahabat yang lain sholat berjamaah, dengan engkau sebagai imam, dengan baju koko yang rapi dan bersih. ketika kutanya, "Agus, kamu kan udah meninggal?" kamu jawab, "tidak, saya tidak meninggal".

Yah, sesungguhnya mereka hidup disisi TuhanNya.

jakarta, 12 mey 2005

love Yogya and Syuhada