Thursday, June 15, 2006

Kebahagiaan Itu


Wah cepet amat ya. Tunggu kami ya. Ini otw dr bt gbg, habis ngasih sarapan anak2. mereka sangat CERIA.
From Gonata, 13/05/06, 07:30

Kebahagianku mekar pagi itu ketika membaca sms dari Gonata di layar HP ku. Mereka sangat ceria. Setelah beberapa hari terakhir aku dan teman-teman hanya berkutat dengan hal-hal teknis persiapan acara ini, hatiku bagai disiram air sejuk yang rasanya.. tak bisa digambarkan, setelah sempat, selintas aku pesimis walau tak pernah terucap, apa manfaatnya acara seperti ini bagi mereka? Tidakkah ini terlalu kecil untuk dapat menolong mereka?
Namun semua pikiran pesimis pudar dengan berjalannya waktu. Tatkala melihat mereka penuh semangat mencoba alat-alat peraga di PP Iptek, tertawa lepas mendengarkan cerita anak dan bermain games, bergembira menerima hadiah, terpesona di teater keong emas, berfoto di beberapa anjungan, dan puncaknya.. ketika aku mendatangi setiap mobil yang akan membawa mereka pulang kembali ke rumah kardus mereka di Bantar Gebang. ”Apakah kalian senang?” tanyaku.
”SENAAAAANGGG,” jawab mereka serempak.
Aku tersentak. Benarkah? Bagaimana mereka bisa menjawab bersamaan seperti itu? Masih tak percaya, kutanya lagi, ”apa yang paling kamu sukai?”
Maka jawaban beragampun muncul. ”Waktu di keong emas! Suaranya besar sekallle?”
Yang lain, “Di PP Iptek, waktu rambutnya berdiri.” Aku tersenyum, ya, itu ketika mereka belajar tentang aliran listrik.
”Waktu main games!!!” kata yang lain.
Dan, ”pokoknya, ini adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan seumur hidup,” kata seorang anak perempuan, sayang aku tidak bisa ingat namanya. Alhamdulillah... hatiku, tak bisa kuceritakan rasanya. Hanya saja, kemudian aku dapat memahami apa yang Ustadz Rusli maksudkan, ketika di pengajian Rabu berikutnya Beliau berkata, kebahagian itu tidak datang dari hal-hal materiil. Kebahagiaan itu datang dari hal-hal immateriil. Aku yakin, engkaupun tahu maksudnya. Dan untuk membagi kebahagiaan itu, berikut Junrial akan menceritakan detil kegembiraan di hari itu, ketika kami mengajak anak-anak pemulung dari Bantar Gebang untuk sejenak melepaskan kepenatan hidup, bermain dan belajar di TMII.

Jakarta, 14 Mei 2006

Thursday, May 04, 2006

Setiakah Engkau?

Penderitaan Istri yang Setia Itu Berujung Kematian...
Begitulah judul berita Kompas 30 April 2006 yang memaksa mataku untuk membaca baris demi baris huruf dibawahnya. Ini kisah tentang seorang guru SD yang meninggal setelah dianiaya suaminya secara terus menerus sejak pernikahan mereka di tahun 1995.

Mari kukutip tulisan di koran itu:
“Mereka prihatin atas penderitaannya, tetapi juga menaruh simpati dan kagum pada karakternya yang tegar dan tabah menghadapi penderitaannya, dan setia pada ikatan perkawinan. Sejak dinikahi Johny sekitar tahun 1995, hidup bahagianya hanya sepenggal bulan pertama. Hidup Arta selanjutnya selalu diliputi kekerasan fisik dari suami. Biasanya, Arta dipukul dan disiksa, dimaki,difitnah, dan sering sekali ditelantarkan begitu saja jika jatuh sakit.”

Dan komentar adik kandung korban,” Dia adalah wanita yang setia. Meski beberapa kali kami memberi saran agar bercerai saja dari suaminya, dia tetap bertahan. Padahal dengan gaji sebagai guru, dia bisa menafkahi diri sendiri.”

Apakah setia itu? Tidakkah seharusnya setia pada pasangan dan perkawinan itu bersyarat? Minimal, adanya penghormatan terhadap kemanusiaan pasangan. Benarkah sikap bertahan dalam perkawinan semacam itu layak diapresiasi sebagai setia? Atau justru sebenarnya hanyalah kepasrahan (untuk tidak mengatakan kebodohan) sia-sia?

Sebagai orang yang percaya pada adanya pertanggungjawaban setelah umur berakhir, aku bertanya-tanya dalam hati, apakah sikap seperti itu akan dipujiNya kelak? Ataukah Dia justru akan bertanya, “Mengapa tidak kau selamatkan dirimu? Mengapa kau sia-siakan kemampuan dan potensi yang Kuberikan padamu?”
Sebagaimana malaikat mencela kaum muslimin yang tidak mau hijrah dan mati terzalimi di Mekkah, “Bukankah Bumi Allah itu luas?” (Qur'an Surah Annisa 97-99)



Monday, March 06, 2006

Apa Bedanya Seeh...

Malam ini aku bertemu dengan seorang teman lama. Walau dulu tidak begitu dekat, tapi aku senang bertemu dengannya. Saling menanyakan kabar dan kegiatan masing-masing, juga tentang teman-teman lain yang sama-sama kami kenal ketika kuliah dulu.

Dia sudah menikah. Dan tidak bekerja. Dulu ia bekerja, namun kemudian berhenti demi mengikuti suaminya yang kerap berpindah tugas. Demikian juga dengan saudara perempuannya. Aku mengangguk-angguk mengerti. Memang prioritas harus ditetapkan diantara beberapa pilihan yang ada. Namun alisku jadi (ingin) naik sebelah (inginnya seeh, sayangnya cuma adikku Udi yang bisa melakukannya) ketika mendengar tentang salah seorang teman yang memang dilarang oleh suaminya bekerja, bahkan untuk mengajar di sekolah sekalipun. Kata suaminya, “lebih baik mengajar anak sendiri daripada mengajar anak orang lain.”

Masya Allah, egois banget! Punya istri pintar kok disimpan hanya untuk diri dan keluarganya saja? “Lho, lebih baik mengajar anak sendiri dan sekalian anak orang lain juga,” kataku ketus. “memperbanyak amal jariah, memperbanyak pahala, memperbanyak manfaat bagi orang lain,” sambungku tak senang.

Aku tak mengerti pikiran-pikiran seperti itu (atau tak mau mencoba mengerti?). Apa salahnya beraktivitas diluar rumah bagi istri? Ibu temanku di kampung juga pergi ke kebun salak bersama suaminya, lalu menjualnya di pasar. Yang lain ikut mencangkul di sawah sambil menggendong anak kecilnya dipunggung. Ibuku sendiri menjual kue dari warung ke warung, pasar ke pasar dan lain-lain dan lain-lain. Apakah ada bedanya dengan para istri yang sudah pernah mengecap pendidikan universitas? Ya, ada bedanya. Ibu-ibu di kampung itu bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga dan tak pernah ada yang protes ketika ia meninggalkan rumah. It’s a natural phenomena. Tapi istri-istri lulusan universitas itu, apapun alasannya bekerja, oleh sebagian orang akan dianggap ‘sok feminis’. Padahal, apa bedanya seeeeh.....

Jakarta, 4 Maret 2006, 23:11
Dengan hormatku pada setiap perempuan, dan laki-laki yang menghargai perempuan.

Kehadiranmu

Memiliki anak adalah salah satu daya tarik pernikahan. Kelihatannya begitu menyenangkan. Aku teringat pada rasa lelah menempuh perjalanan jauh yang langsung hilang menguap ketika aku melihat keponakanku yang baik budi, Muhammad Fathin Kurnia. Padahal waktu itu aku merasa agak mabuk dan mual akibat perjalanan jauh Banda Aceh – Kutacane, sehingga dudukpun rasanya tak mampu, hanya tiduran saja sambil disuap makan oleh ibunda tercinta. Tapi begitu melihat Fathin, jangankan duduk, aku bahkan sanggup menggendongnya, luar biasa. Pahamlah aku ketika itu apa yang dimaksud orang dengan rasa lelah bekerja seharian yang hilang begitu berjumpa anak-anak dirumah. Belum lagi kalau membayangkan hari-hari penuh warna bersama mereka.

Tapi apakah memiliki anak adalah tujuan pernikahan? Jika ya, apa yang terjadi ketika pernikahan tak juga dikaruniai anak? Berapa banyak perceraian yang terjadi karena tak kunjung hadirnya si buah hati? Bahkan, jenis kelamin anak pun kerap menjadi persoalan. Berapa banyak suami yang memilih menikah lagi demi memperoleh anak, atau anak dengan jenis kelamin tertentu? Istri kembali hamil dan hamil lagi tanpa memeperhatikan kondisi fisik dan psikisnya demi hadirnya seorang anak laki-laki. Atau paling tidak, pernikahan sering menjadi hampa, kosong, sensitivitas suami istri meningkat tajam yang memicu pertengkaran demi pertengkaran. Belum lagi daya tahan yang dibutuhkan dalam menghadapi pertanyaan dan komentar tetangga kiri kanan dan keluarga besar, terutama orangtua yang merengek-rengek inginkan cucu.

Apakah hidup kemudian menjadi tak berarti tanpa hadirnya anak-anak yang lahir dari pernikahan sendiri? Begitu miskinkah jiwa-jiwa kita tanpa mereka? Ya, mungkin memang begitu. Coba perhatikan orang-orang yang sudah menikah di sekeliling kita. Bukan “bagaimana rumahmu, bagaiamana mobilmu, bagaimana karirmu” yang paling sering ditanyakan diantara mereka. Tapi “bagaimana anak-anakmu, sudah bisa apa mereka, sudah kelas berapa” dan hal-hal lain seputar anak yang kerap mereka perbincangkan dengan bangga ataupun resah. Coba dengarkan dengan sabar cerita berulang-ulang seorang tante tentang anaknya yang mendapat beasiswa kuliah keluar negri, atau coba lihat foto-foto wisuda berukuran 10R di ruang tamu seorang guru SD yang bangga, atau kita bisa ikut tersenyum gembira mengamati foto-foto bayi yang dipamerkan sukarela oleh para orangtua muda, teman-teman kita sendiri.

Tapi sekali lagi, apakah memiliki anak adalah tujuan pernikahan?

Jakarta, 4 Maret 2006
Tuk Mas widhi dan istri: Selamat atas hadirnya si buah hati Andaru yang telah ditunggu dan diupayakan selama tujuh tahun ini. Semoga menjadi anak sholeh, bijaksana, kebanggaan orangtua, amin.

Tuesday, February 14, 2006

Dan lagi

Dan aku marah lagi
Dan aku tak mampu menahan diri, lagi
Dan aku tak pandai menenggang rasa, lagi
Dan aku melihat hanya dari diriku sendiri, lagi

Hanya tertinggal jejak rasa yang melintas sekilas
Ketika sesaat kilat bening nyaris hadir disudut matanya
Dan menyadari ia akan pulang sia-sia hari ini
Dan mengingat yang tlah ia korbankan untuk hadir disini

Namun nyata terlalu dingin hati ini
Bahkan tuk sekedar menghadirkan segaris senyum tulus
Dan nyata terlalu keras hati ini
Bersetuju dengan ego yang tak mau diusik


jakarta, 14 Februari 2006

Monday, January 30, 2006

Hujannya deras sekali

Malam ini hujannya deras sekali
Dan anginnya bertiup kencang sekali
Kilat menyambar berkali-kali
Guntur tak kalah, mengiringi

Menyeberangi jembatan aku sendiri
Payung terayun berjuang melindungi
Tempias air membasahi diri
Dingin kurasa mulai merayapi

Lirih aku meminta perlindungan diri
Pada Dia yang menurunkan hujan ini
Hendaknya hanya rahmatlah yang Ia beri
Jangan bencana lagi menghampiri
Amin.

Jakarta, 28 Januari 2006

Tuesday, January 03, 2006

Dua Sisi

Dekat
Adalah mata pisau
Pejal
Dan tajam
Adalah obat
Juga racun
Kecuali denganMu

Tinawas, 23 juli 1998

Monday, January 02, 2006

Malam Tahun Baru

Aku ingin di rumah saja malam ini. Memilih dan menikmati film-film yang belum sempat kutonton selama ini. Tapi ternyata disinilah aku, terjebak dalam kemacetan yang luar biasa. Motor dan motor saling bersenggolan, mobil-mobil mengambil jalur yang bukan haknya, udara dipenuhi asap knalpot yang memedihkan mata, klakson menjerit-jerit ditingkahi tiupan terompet yang tak indah di telinga.

Benar-benar aku ingin dirumah saja malam ini. Memilih-milih buku di rak dan membaca yang belum sempat dibaca, sambil ngederin radio yang menyiarkan berita atau lagu-lagu. Hmmm.., nikmatnya hidup. Tapi ternyata disinilah aku, di tepi alun-alun memaksa diri menikmati semangkok bakso dengan es teh manis segelas, ditingkahi suara pelayan dan tukang parkir dan masih dengan klakson dan terompet yang sama.

Menyaksikan mereka memanggang ayam dan menyate, tertawa, bergembira, aku sungguh, masih ingin dirumah saja. Menikmati waktu yang masih dipinjamkanNya padaku, bersamamu saja.


Karawang, 31 Desember 2005